top of page
  • Oligo-Admin

Memahami Pengolahan Sampah Energi Listrik

Diperbarui: 10 Agu 2021

(dalam Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018)

Saat ini, banyak kota-kota besar di Indonesia berada dalam status kedaruratan sampah. Artinya, landfill atau TPA di kota tersebut telah melampaui daya tampungnya dan Pemerintah Daerah terbentur dengan keterbatasan lahan untuk menimbun sampah.


Di sisi lain, upaya untuk penuntasan sampah di hulu melalui pembatasan kantong plastik, fasilitas TPS3R, bank sampah, sistem black soldier flies, belum cukup mampu untuk menurunkan sampah secara substansial. Bahkan, dalam skenario paling optimis-pun, kegiatan-kegiatan di hulu ini diharapkan hanya mampu menurunkan jumlah sampah sebesar 30% dari timbulan, sebagaimana ditargetkan dalam Kebijakan Strategis Nasional di bidang persampahan. Target ini jauh lebih agresif dari posisi rata-rata dunia saat ini, yang mana National Geographic Society memperkirakan bahwa hanya 9% plastik di dunia yang akhirnya melalui proses daur ulang.


Logikanya, untuk mengurangi beban TPA, Indonesia membutuhkan solusi pengolahan sampah yang dapat mengurangi volume sampah dalam jumlah yang besar dan cepat untuk menangani 70% dari porsi sampah yang tidak ditargetkan sebagai kegiatan hulu dalam Kebijakan Strategis Nasional. Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia mendorong implementasi pengolahan sampah menjadi energi listrik ramah lingkungan (PSEL) melalui Peraturan Presiden No 35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (selanjutnya disebut PerPres 35/2018).


Pada saat Peraturan Presiden ini diterbitkan, kebijakan ini dianggap dapat memberikan angin segar kepada permasalahan persampahan di dua belas (12) kota yang terdaftar karena terdapat bantuan pendanaan melalui tarif listrik khusus serta bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS). Hal ini tentu menarik karena dapat membantu anggaran Pemerintah Daerah yang masih memiliki kapasitas anggaran pengolahan sampah yang minim.


Akan tetapi setelah empat (4) tahun peraturan ini disahkan, dari 12 kota yang terdaftar hanya Kota Surabaya yang telah mengimplementasikannya. Kota-kota lainnya ada yang telah melaksanakan proses lelang, atau dalam persiapan untuk berlelang. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sifat percepatan dari PerPres 35/2018 mulai dipertanyakan dan memicu wacana untuk merevisi peraturan ini.


Tulisan ini mencoba mengkaji pertanyaan-pertanyaan terkait peraturan ini yang seringkali muncul selama PerPres 35/2018 dijalankan.


Apakah PerPres 35/2018 mengacu ke teknologi tertentu dalam pengolahan sampah yang dapat diimplementasikan?


PerPres 35/2018 seringkali dianggap mengarahkan proyek pengolahan sampah ke suatu jenis teknologi tertentu sehingga implementasi teknologi lainnya tidak dapat dilaksanakan. Di sisi lain, PerPres 35/2018 itu sendiri tidak menyampaikan secara spesifik jenis teknologi yang digunakan. Peraturan ini hanya menyampaikan teknologi yang digunakan merupakan teknologi yang teruji dan ramah lingkungan serta memenuhi tiga (3) kriteria[1], antara lain:

  1. dapat mengurangi sampah secara signifikan,

  2. dapat mengurangi volume sampah dalam waktu yang signifikan, dan

  3. menghasilkan listrik.

Penekanan pada teknologi yang teruji dan ramah lingkungan menjadi hal penting dalam peraturan ini, mengingat penerbitan kebijakan ini adalah peraturan percepatan untuk menyelesaikan kedaruratan masalah persampahan. Dengan sifat percepatan, maka solusi yang ditawarkan haruslah yang terbukti telah berhasil menyelesaikan masalah persampahan. Sehingga teknologi yang dipilih sewajarnya telah memiliki rekam jejak yang kuat di berbagai dunia.


Namun, tentu saja masih terdapat ruang pertanyaan terkait implementasi peraturan ini. Bagaimana cara menentukan “signifikan” sebagaimana yang disebutkan dalam peraturan ini? Serta pihak mana yang menentukannya? Jika memang PerPres 35/2018 perlu direvisi, maka yang diperlukan adalah target pengurangan volume sampah yang jelas dan terukur.


Mengapa penjualan listrik penting dalam implementasi PSEL?


Tingginya kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia, serta adanya keinginan dari Pemerintah Indonesia untuk melibatkan investasi swasta baik nasional maupun internasional memberikan tantangan tersendiri.


Untuk dapat memperoleh kepercayaan investor untuk berinvestasi dalam suatu kegiatan infrastruktur, maka proyek investasi yang ditawarkan haruslah “feasible” and “bankable”, atau dianggap mampu menghasilkan pengembalian yang layak dan meyakinkan (pasti).


Tidak bisa dipungkiri bahwa implementasi PSEL memerlukan modal yang besar. Selain besar, investasi tersebut harus bisa didapatkan dengan cepat. Faktor yang sangat mempengaruhi kemampuan mendapatkan investasi yang besar dan cepat adalah kepercayaan dari pihak investor dan perbankan bahwa:

  1. model bisnis Proyek dapat menghasilkan pendapatan dengan jumlah tertentu, dan

  2. struktur kontrak Proyek sudah disusun dengan pertimbangan yang baik dari segala aspek resiko dan memiliki ikatan serta dukungan hukum yang kuat.

Jika kedua hal tersebut dapat dipenuhi, maka investor dan perbankan dapat dengan cepat membuat keputusan investasi untuk mendanai kegiatan tersebut. Dalam hal ini, penjualan listrik melalui Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN menjadi penting. PJBL telah terbukti dapat diterima dikalangan investor dan perbankan dengan telah terlaksananya banyak kegiatan investasi dari sektor swasta sebagai Independent Power Producer (IPP) melalui PJBL karena dasar hukumnya kuat sehingga menjamin keberlanjutannya dalam periode kontrak yang panjang.


Mengapa dana investor penting dalam pelaksanaan PSEL?


Kota-kota besar di Indonesia menghasilkan sampah dengan jumlah yang sangat besar, dengan rata-rata lebih dari 1.000 ton per hari. Untuk dapat mengolah sampah di atas 1.000 ton per hari, dana yang diperlukan untuk pengadaan peralatan proyek pengolahan dapat dipastikan akan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Sehingga, untuk mencegah pengeluaran anggaran negara yang sangat besar dalam waktu singkat, diperlukan investasi dengan menggunakan dana investor domestik maupun internasional.


Untuk memberikan gambaran, beberapa kota di Indonesia telah berupaya untuk melaksanakan proyek PSEL dengan nilai investasi yang tinggi, seperti:

  • Proyek PSEL ITF Sunter Jakarta, memiliki kapasitas pengolahan sampah sebesar 2.200 ton dengan nilai investasi sebesar USD 345 juta (sekitar Rp 4,94 triliun),

  • Proyek PSEL Kota Tangerang, memiliki kapasitas pengolahan sampah sebesar 2.100 ton dengan nilai investasi sebesar USD 185 juta (sekitar Rp 2,65 triliun),

  • Proyek RDF Kota Cilacap, memiliki kapasitas 120 ton per hari. Apabila proyek ini tidak dilakukan dengan bantuan dana hibah, maka nilai belanja modalnya adalah berkisar Rp 97 miliar. Jika kapasitas pengolahan proyek ini diperbesar (scale-up) hingga mencapai 1.000 ton per hari, maka belanja modal (tanpa bunga) yang dibutuhkan diperkirakan dapat mencapai Rp 800 miliar. Selain itu, penambahan kapasitas pada proyek akan membutuhkan lahan yang luas untuk proses pengeringan RDF, yang belum tentu tersedia di kota yang besar.

Perpres 35/2018 pada dasarnya mendorong keterlibatan dana investasi untuk mencegah terjadinya kebutuhan belanja modal dalam jumlah besar dan dalam waktu yang cepat. Meskipun demikian, dalam hal Pemerintah Daerah tidak ingin melibatkan sepenuhnya investasi asing, maka PerPres 35/2018 juga membuka peluang Pemerintah Daerah untuk dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah-nya yang mampu untuk menyediakan sebagian besar dana investasinya dengan mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.


Mengapa tarif listrik dalam PerPres 35/2018 lebih tinggi dari BPP?


Dalam proses pengolahan sampah baik secara PSEL maupun bukan PSEL, Badan Usaha mendapatkan imbalan sebagai sumber pemasukan dalam bentuk tipping fee atau disebut juga dengan BLPS dalam PerPres 35/2018. Namun khusus PerPres 35/2018, Badan Usaha bisa mendapatkan pemasukan dari dua sumber pendapatan, yaitu dari BLPS dan juga melalui penjualan listrik kepada PLN.


Adanya tarif listrik khusus PSEL dengan nilai di atas Biaya Pokok Pembiayaan Pembangkitan (BPP) yang disampaikan dalam PerPres 35/2018 seringkali dianggap membebani PLN, padahal implementasi PSEL sendiri perlu dilakukan dengan adanya penjualan listrik. Tingginya nilai tarif khusus listrik tidak bisa lepas dari fakta bahwa kemampuan anggaran Pemerintah Daerah untuk pengolahan sampah masih belum optimal, akibat minimnya peran serta masyarakat sebagai pihak pencemar (polluter) dalam mendanai pengolahan sampah. Jika PLN tidak bersedia membayar listrik dengan tarif khusus tersebut, maka dapat berakibat Pemerintah Daerah perlu menyediakan anggaran yang lebih besar daripada kemampuan anggaraannya untuk membayar BLPS kepada Badan Usaha agar investasi yang telah dikeluarkan tetap bankable.


Tentunya jalan keluar dari kekurangan anggaran ini bukan pada subsidi PLN atau bantuan APBD. Akan tetapi, pada keterlibatan masyarakat untuk mengurangi sampah dan membayar retribusi pengolahan sampah sesuai dengan jumlah sampah yang dihasilkan sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara maju. Setiap individu perlu bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan, dan Pemerintah Daerah perlu menggiatkan upaya agar retribusi pengolahan sampah dapat dikumpulkan tanpa kebocoran dan secara berkeadilan.


Bagaimana dengan teknologi mengolah sampah menjadi RDF? Apakah bankable?


Refuse Derived Fuel (RDF) merupakan bahan bakar alternatif yang berasal dari sampah, yang mana sampah kota diolah agar memenuhi suatu standar tertentu sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. RDF umumnya digunakan sebagai campuran bahan bakar di pembangkit listrik batu bara ataupun sebagai substitusi batu bara di kiln semen. Pemanfaatan RDF telah dilaksanakan di berbagai negara, termasuk di Indonesia.


Dengan potensi RDF sebagai bahan bakar substitusi, muncul berbagai anggapan bahwa RDF dapat dikembangkan sebagai proses pengolahan sampah yang jauh lebih murah karena tidak lagi memerlukan pembangunan fasilitas pembakaran thermal yang investasinya besar. Anggapan ini tidak salah, namun kesuksesan dari proyek produksi RDF untuk mengolah sampah sangat terkait dengan pihak yang akhirnya menyerap RDF tersebut sebagai bahan bakar (disebut sebagai RDF-Offtaker).

Pabrik semen sebagai RDF-Offtaker telah teruji dan dapat berinvestasi untuk membangun instalasi pengolah sampah menjadi RDF. Meskipun demikian, jumlah RDF yang dapat diserap suatu pabrik semen tidaklah terlalu besar dan pabrik semen seringkali tidak dekat dengan sumber sampah yang menjadi bahan bakunya. Oleh karenanya, perlu dicari kesetimbangan kapasitas yang tepat agar pabrik semen dapat membantu menyerap RDF sesuai kebutuhannya, namun juga tetap mengolah sampah sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Daerah. Umumnya, hal ini dapat terjadi dengan menyesuaikan radius pengumpulan sampah dari lokasi pabrik semen tersebut.


Namun di sektor pembangkit listrik seperti PLN, upaya pembakaran RDF sebagai substitusi batu bara belum terbukti meskipun terlihat menjanjikan. Di negara-negara yang telah melakukan kajian metode ini seperti Jerman, Amerika Serikat, dan Tiongkok nyatanya berupaya meninggalkan kegiatan ini. Tentunya hal ini terjadi seiring dengan kebutuhan dunia untuk melakukan phase out (menghapuskan secara bertahap) PLTU Batu Bara, meskipun dengan tidak mengenyampingkan fakta bahwa kebutuhan pengolahan sampah justru semakin tinggi.


Sayangnya, karena sifatnya yang alternatif, maka kontrak pembelian Bahan Bakar Alternatif seperti RDF hanya dapat dilaksanakan dalam jangka pendek, satu tahun atau maksimum 5 tahun. Sebagai RDF-offtaker, kebijakan untuk membeli bahan bakar alternatif sangat terkait dengan tingkat kegiatan produksi (baik listrik ataupun semen), harga bahan bakar dan alternatifnya yang ada ketika kontrak dinegosiasikan, dan tentunya kebijakan yang berlaku bagi industri tersebut, seperti kebijakan perubahan iklim yang pelaksanaannya sering sekali tidak kontinu dan tidak konsisten.


Di sisi lain, pembangunan infrastruktur untuk memproduksi RDF membutuhkan kontrak jangka panjang untuk menjadi bankable. Hal ini tentunya menghasilkan contractual gap atau jeda kontrak yang membuat model bisnis ini tidak bankable.


Contoh resiko yang dapat terjadi akibat adanya jurang kontrak di atas adalah sebagai berikut:

  1. RDF-Offtaker dapat memilih supplier RDF yang termurah/terdekat selama memenuhi kriterianya. Dalam hal ada pabrik RDF baru dengan jarak transportasi yang lebih dekat, offtaker dapat membuka hubungan dagang baru dengan pihak tersebut, dan tidak memperpanjang pembelian RDF dari supplier sebelumnya.

  2. Pada setiap perpanjangan kontrak, RDF-Offtaker dapat menyesuaikan harga RDF, akibat situasi berikut:

    • Apabila bahan bakar alternatif lainnya seperti sekam padi, coconut husk, sawdust,kernel shell, menjadi lebih murah, RDF-offtaker dapat memilih sawdust atau coconut husk yang lebih berkualitas daripada RDF dan mengurangi pembelian, bahkan membatalkan pembelian RDF;

    • Apabila harga batu bara menjadi sangat murah dan RDF-offtaker dapat mengakses kredit karbon dengan harga murah, maka RDF-Offtaker dapat memilih untuk kembali pada batu bara dan tetap menjaga tingkat emisinya dalam regulasi;

    • Apabila jumlah produsen RDF terus meningkat, maka akan terjadi kondisi suplai RDF dilakukan melalui mekanisme lelang untuk memilih harga suplai terendah dam kemudian berdampak pada jumlah sampah yang dapat dimusnahkan karena tidak semua suplier RDF terpilih.

3. RDF-Offtaker tidak dapat bertanggung jawab atas RDF yang tidak termusnahkan selain yang telah disepakati dalam periode kontrak.


Dalam hal kontrak jual beli RDF tidak diperpanjang karena contoh (1) dan (2) di atas, dan Badan Usaha tidak dapat menemukan kontrak jual beli RDF lain untuk memusnahkan sampah dengan harga beli yang tepat, maka Badan Usaha akan cidera janji atas investasinya kepada Pemerintah Daerah, yang dapat berakibat pengambilalihan aset Badan Usaha.


Hal-hal di atas perlu menjadi perhatian, karena Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sampah yang dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah menuntut pengolahan sampah yang konsisten dan terbukti sepanjang masa kontrak mengingat kebutuhan ini tidak dapat ditunda, dan jumlah sampah juga terus meningkat seiring dengan bertumbuhnya ekonomi. Sehingga, apabila RDF-Offtaker merubah substansi kontraknya (mengurangi jumlah pembelian, membatalkan pembelian, atau merubah harga pembelian), maka Badan Usaha Pengelola Sampah tidak dapat menunaikan tanggung jawabnya kepada Pemerintah Daerah.


Apa yang bisa kita simpulkan?


Untuk menindaklanjuti isu kedaruratan sampah di Indonesia, Pemerintah Indonesia mendorong implementasi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) melalui PerPres 35/2018. Sasaran utama dari implementasi PSEL dalam PerPres 35/2018 adalah:

  1. Mampu melaksanakan reduksi atau pemusnahan sampah dalam jumlah besar, karena kondisi TPA yang sudah tidak mampu lagi menanggulangi sampah yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi masyarakat, dan

  2. Mampu menarik investasi badan usaha baik domestik maupun internasional karena berskala besar dan melibatkan dana besar, sehingga biaya pengadaanya tidak mengakibatkan kenaikan yang besar dan tiba-tiba dalam pembelanjaan negara.

Agar investasi dengan nilai yang sangat besar dapat terlaksana dengan cepat, diperlukan komitmen dari pihak Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, maupun PLN untuk pelaksanaan PSEL yang bankable dan menarik bagi investor. Sehingga, implementasi PerPres 35/2018 dapat segera terlaksana dan isu kedaruratan sampah di Indonesia dapat segera tertangani.

 

[1] PerPres 35/2019 Bab 1 Ayat 5 dan Ayat 6

bottom of page